BAB
10 PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
A.Pengertian PPh Pasal
26
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)
luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan. Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar
negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial
owner).
B.Pemotong dan Pihak
yang Dipotong di dalam PPh Pasal 26 :
· Pemotong PPh pasal 26:
1) Badan Pemerintah
Tidak
ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang
dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
2) Subjek Pajak dalam negeri
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan
berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di
Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan
tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian
badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3) Penyelenggara Kegiatan
Penyelenggara
kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan
suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi
atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.
4) BUT (Badan Usaha Tetap)
BUT
adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan
kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam
negeri.
Pengertian
BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
selain BUT di Indonesia.
Perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh pasal 23. Contohnya Representative Office (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.
· Pihak yang dipotong di dalam PPh Pasal 26
Beda
dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap
Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian
Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga
Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Jadi,
Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia
tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga
negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan
berupa dividen dari PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan
terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri
melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.
C.Tarif dan Objek PPh
Pasal 26
1.PPh
pasal 26 = penghasilan bruto x 20%
20%
(final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri berupa :
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya;
dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2.20%
(final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
PPh
pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%
a. penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk penjualan harta di
Indonesia adalah 25% dari harga jual.
b. premi asuransi, premi reasuransi yang
dibayarkan langsung maupun melalui pialang (broker) kepada perusahaan asuransi
di luar negeri. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk premi asuransi dan
premi reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi adalah sebagai berikut
:
· atas premi yang dibayar tertanggung
kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui
pialang (broker), sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar.
· Atas premi yang dibayar oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi
di Luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari
jumlah premi yang dibayar.
· Atas premi yang dibayar oleh
perusahaan Reasuransi yangberkedudukan di Indonesia kepada perusahaan
asuransidi Luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5%
dari jumlah premi yang dibayar.
3.20%
(final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan
atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
PPh
pasal 26 = (penghasilan bruto x perkiraan penghasilan neto) x 20%
Besarnya
perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual.
4.PPh
pasal 26 = (PKP-PPh terutang) x 20%
20%
(final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Penanaman
kembali tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
· Penanaman kembali dilakukan atas seluruh
penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada
perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendiri, dan;
· Penanaman kembali dilakukan dalam tahun
berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak
diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
· Perusahaan baru yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai dimaksud pada huruf a, harus secara aktif
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama satu
tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
· Tidak melakukan pengalihan atas penanaman
kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
D. Saat Terutang, Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung
yang mana terjadi lebih dahulu.
2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti
pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar
negeri;
b. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank
Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling
lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP
lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan
disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh:
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran paling lambat
tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat
tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir
pelaporan PPh Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau
hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
E .Cara Perhitungan PPh
pasal 26
a.Messi
atlet dari Nigeria mengikuti perlombaan lari marathon di Indonesia pada mei
2007, dan berhasil merebut hadiah sebesar US$30,000. Kurs untuk US$1 = Rp9.000
Jadi
PPh Pasal 26 yang dipotong penyelenggara kegiatan di Indonesia adalah :
20%
x US$30,000 x Rp9.000 = Rp54.000.000
b.Badan
Usaha Asing di Indonesia memperoleh penghasilan kena pajak sebesar :
Rp20.000.000.000
PPh
pasal 26 dihitung Sebagai Berikut :
Penghasilan
Kena Pajak
Rp20.000.000.000
PPh
Terutang :
25%
x Rp20.000.000.000 (
Rp5.000.000.000 )
Penghasilan
Setelah Dikurangi Pajak Rp15.000.000.000
PPh
Pasal 26 yang terutang :
20
% x Rp15.000.000.000
Rp3.000.000.000
NB
: Seandainya Rp15M tersebut ditanam kembali di Indonesia maka WP luar negeri
tersebut tidak perlu membayar PPh Pasal 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar