BAB 1 “SEJARAH BAHASA INDONESIA”

BAB I
“SEJARAH BAHASA INDONESIA”
A.    Pengertian dan Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu termasuk rumpun bahasa Austronesia yang telah di gunakan sebagai lingua franca di nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering di namai dengan istilah Melayu pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah di mengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang di gunakan para penggunanya. Selain Melayu pasar terdapat pula istilah Melayu tinggi.
            Pada masa lalu bahasa Melayu tinggi digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa melayu pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan melayu pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa melayu tinggi oleh balai pustaka. Tetapi bahasa melayu pasar sudah terlanjur di ambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia. Penamaan istilah “bahasa Melayu” telah di lakukan pada masa sekitar 683- 686 M. Yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasati ini di tulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan Maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Sailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang di temukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional Kedua di Jakarta, di canangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negera Indonesia pasca-kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari bahasa Melayu yang di tuturkan di Riau. Bahasa Melayu Riau di pilih sebagai bahasa persatuan negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.    Jika bahasa Jawa di gunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.    Bahasa Jawa jauh lebih sukar di pelajari di bandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.    Bahasa Melayu Riau yang di pilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan: Pertama, suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas malaka direbut oleh Portugis. Kedua, sebagai lingua franca, bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.    Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia yaitu Malaysia, Brunei, dan Singapura. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura biasa di tumbuhkan semangat patriotic dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
5.    Dengan memilih bahas Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang telah dipilih ini kemudian distandarnisasi (dibakukan) lagi dengan nahwu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini telah dilakukan pada zaman penjajahan Jepang. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa perhubungan yang lingua franca bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Melayu mulai diapakai di kawasan Asia Tenggara sejak Abad ke
6.    Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit, berangka 683 M. (Palembang); Talang Tuwo, berangka 684 M. (Palembang); Kota Kapur, berangka 686 M. (Bangka Barat); dan Karang Brahi, berangka 688 M. (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu kuno. Bahasa Melayu kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M. dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M. yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuno.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Buddha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang di luar Nusantara. Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Buddha, Sriwijaya antara lain, menyataka bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-luen (I-Tsing, 63: 159), Kou-luen (I-Tsing, 183), Koen-luen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971: 1089), Kun’lun (Parnikel, 1977:91), Kun ‘lun (Prentice, 1078:190,) yang berdampingan denga sangsakerta yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di kepulauna Nusantara, yaitu bahasa Melayu. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peniggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu tertulis seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M. Maupun hasil susastra (abad ke- 16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar kepelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai dimana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sangsakerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai fariasi dan dialeg.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan Bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadara mengangkat bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yang menjadi bahas persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia diantranya:
1)    Pada 1901, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch.A. Van Ophuijsen dan dimuat dalam kitab logat Melayu.
2)    Pada 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie Voor de Volkslectuur (Taman bacaan rakyat) yang kemudian pada 1917 ia diubah menjadi balai pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3)    Pada 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentuka dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan memancangkan tonggak yang kukuhuntuk perjalanan bahasa Indonesia.
4)    Pada 1933, Secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipinpim oleh Sultan Takdir Alisyabanah dan kawan-kawan.
5)    Pada tarikh 25-28 Juni 1938, dilangsungkanlah kongres bahasa Indonesia di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh Cendikiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
6)    1945 ditanda tanganilah Undang Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Negara.
7)    Pada 19 Maret 1947, diresmikan penggunaan ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8)    Kongres bahasa Indonesia II de Medan pada Tarikh 28 Oktober – 22 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa Kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa Negara.
9)    Pada tanggal 16 Agustus 1972, H.M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesi Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan siding DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
10) Pada 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
11) Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober-2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
12) Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 21 Oktober – 2 November 1983. Ia di selenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam rangka putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
13) Kongres Bahasa Indonesia V diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober – 3 November 1988. Ia dihadiri oleh kira-kira 700 pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara (sebutan bagi Negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
14) Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober – 2 November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari manca negara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
15) Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada 26 – 30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkandibentuknya badan pertimbangan bahasa dengan ketentuan sebagai berikut ;
16) Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra.
17) Tugasnya memberikan nasihat kepada pusat pembinaan dan perkembangan bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.
18) Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta pada 14-17 Oktober 2003.
19) Kongres IX Bahasa Indonesia. Kongres ini akan membahas tiga persoalan utama :
a.  Bahasa Indonesia
b. Bahasa daerah
c. Penggunaan bahasa Asing

Tempat Kongres di Jakarta, pada 28 Oktober-1 November 2008 di Hotel Bumi Karsa, Kompleks Bidakara, Jalan M. T. Haryono, Jakarta Selatan. Secara umum, Kongres IX bahasa Indonesia ini bertujuan meningkatkan peran bahasa dan sastra Indonesia dalam mewujudkan Indonesia cerdas, kompetitif menuju Indonesia yang bermartabat, berkepribadian, dan berperadaban unggul.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Business

Popular

Arsip Blog

Recent Posts